hasil penelitian tentang morea waai

morea waai
kolam khusus berisi
morea/belut dan ikan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya mencapai ribuan buah. Keistimewaan inilah yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai suatu negara yang unik di mata dunia. Maluku termasuk dalam gugusan pulau-pulau yang sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan, yang pada umumnya berkonsentrasi di pulau-pulau besar maupun kecil.
Desa merupakan basis kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu harus dibina dan dikembangkan. Apabila kita memperhatikan masyarakat pedesaan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia akan tergambar jelas pola kemasyarakatan dan adat istiadat yang beanekaragam sebagai warisan di masa lampau yang sulit dilupakan.
Jauh sebelum Indonesia berdiri menjadi negara kesatuan, negeri-negeri di pulau Ambon sudah ada dan terbentuk, salah satunya Desa Waai dan punya struktur pemerintahan sendiri yang di pimpin oleh seorang raja. Hal ini sangat penting diketahui agar kita dapat lebih mengenal dan mengetahui kehidupan masyarakat serta struktur pemerintahan, yang ada pada masa lampau. Hal ini menunjukan bahwa leluhur kita telah mengenal suatu sistem pemerintahan yang teratur dengan tujuan untuk menjaga stabilitas dalam kehidupan masyarakat.
Proses terbentuknya negeri khususnya di Maluku yang di kenal dengan sebutan negeri atau hena, merupakan suatu proses dimana orang-orangnya atau komunitasnya mulai bermusyawarah dan menentukan keinginan mereka untuk membangun sesuai keinginan dari para pemukanya.
Dari cerita-cerita tradisional yang berkembang di masyarakat maluku terutama menyangkut sejarah pertumbuhan desa-desa sangatlah menarik. Salah satu hal yang membuat cerita-cerita tersebut menarik adalah jauh sebelum Indonesia ini terbentuk, negeri di Maluku sudah terbentuk.
‘’Pada mulanya sekelompok orang/masyarakat sosial bertempat tinggal di gunung atau bukit-bukit pada tempat-tempat aman dan strategis, dan setelah penduduk bertambah terbentuklah perkampungan-perkampungan dan yang terdiri dari beberapa mata rumah‘’. Berkaitan dengan penjelasan di atas maka ada salah satu Negeri di pulau Ambon, di anggap mempunyai cerita sejarah yang menarik untuk di teliti dan di tulis untuk menjadi bahan bagi generasi muda di daerah ini. Dan dari berbagai pemikiran itulah maka penulis mencoba untuk menanyakan berbagai fakta sejarah terutama berbgai cerita sejarah tulisan tentang desa Waai di pulau Ambon Kecamatan Salahutu.



B.     Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana sejarah kelahiran dan perkembangan desa Waai dan Bagaimana asal usul munculnya morea di Waai ?

C.     Tujuan
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Mendeskripsikan sejarah kelahiran dan perkembangan desa Waai dan asal usul munculnya morea di Waai.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Sejarah
Dalam upaya untuk menyelesaikan permasalahan pokok, sebagaimana telah dikemukakan awal bab ini, maka penulis secara teori maupun konsep para pakar yang dianggap relevan dengan  masalah pokok penelitian ini.
            Sangat penting proses pengumpulan data sejarah, dimana tujuannya adalah menghasilkan kisah sejarah yang nantinya dipelajari sebagai realitas masa lalu yang mengalami proses perubahan pada masa sekarang kemudian pada masa yang akan datang.
            Dari pengertian di atas, Roeslan Abdulgani (1963 : 174) mengatakan bahwa : sejarah ialah salah satu cabang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau, beserta segala kejadian-kejadiannya, dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan itu, untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan  pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses maasa depan.
            Sejarah dalam pengertian itu mengandung 3 dimensi waktu yaitu : masa lampau(past), sekarang(present) dan yang akan datang(future).

B.     Pengertian Negeri
Negeri di Maluku pada umumnya memiliki adat serta kebudayaan yang merupakan hasil karya dan cipta dari nenek moyang untuk dijadikan sebagai aturan dan norma yang terus dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah desa diambil dari bahasa jawa yang menunjukkan pada suatu hukum adat jawa, sedangkan istilah negeri berasal dari bahasa melayu yaitu negeri dan menunjukkan kepada suatu masyarakat. Tiap daerah mempunyai adat-istiadatnya masing-masing, mengatur dan mengurus hidup bersama.
Adanya berbagai istilah untuk kelompok tinggal bersama itu menunjukkan bahwa apa yang disebut desa sekarang ini telah ada di Indonesia jauh sebelum orang Eropa atau bangsa lainnya datang. Betapa sederhananya desa pada saat itu. Desa tidaklah berasal dari luar Indonesia, tetapi asli dan murni Indonesia.
Negeri juga merupakan pusat berbagai aktivitas baik dalam bidang ekonomi, sosial dan juga kebudayaan pada umumnya. Kesatuan hidup ini berada di bawah pimpinan suatu lembaga yang biasa diistilahkan dengan Badan Saniri. Kedua badan saniri adalah Raja/Kepala Negeri, dan orang yang berhak diangkat sebagai Raja adalah mereka yang berketurunan Raja.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Lokasi Penelitian
pawang morea
Penelitian ini dilakukan di kolam Waiselaka di Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
B.     Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah “ Deskriptif Kualitatif “ yaitu  penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena terjadi dengan melibatkan berbagai metode yang ada (Denzin dan Lincoln dalam Moleang 2008 : 5). Penelitian tersebut dilakukan dengan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Wawancara itu bersifat tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang berkembang sesuai kebutuhan di lapangan. Pengamatan yang dilakukan bersifat non-partisipatif. Dokumentasi didapatkan dari literatur tertulis dan internet.


BAB IV
PEMBAHASAN

§  Sejarah Negeri Waai
Semula ada tujuh buah kampong atau Eri yang kemudian bersepakat untuk mencari suatu negeri yang saat ini dikenal dengan nama Waai. Pada mulanya pegunungan Salahutu tak berpenduduk. Seorang laki-laki tiba di gunung ini yang bernama Paumete yang berasal dari Nunusaku dengan berjalan kaki naik ke gunung, konon Pulau Seram dan Pulau Ambon menyatu. Paumete kembali ke Seram menjemput saudara perempuannya yang bernama Isamete dan kembali bersama ke Salahutu. Ia pun mengawini adiknya itu lalu kedua orang tua mereka pun mengetahuinya dan menjadi marah dan akhirnya menyumpahi kedua anak itu. Akibat sumpahan itu maka pulau Seram dan pulau Ambon menjadi terputus. Kedua kakak beradik itu adalah penduduk pertama di pegunungan Salahutu ini. Setelah mereka beranak cucu, mereka membangun sebuah pemukiman yang diberi nama Simalopu (Panah dan Tembok), keturunan mereka pun menjadi banyak dan mereka pindah ke suatu tempat yang bernama Tua Pela (Tuhan Ela). Kemudian salah satu keluarganya berpisah dari keluarga besar Tuangela dan bermukim di tempat yang bernama Eri Eluhu yang dipimpin Nuhurela. Eluhu merupakan suatu negeri yang pertama di gunung karena telah dibangun dengan baik, sedangkan penduduk Tuangela kemudian lenyap entah kemana.
Setelah itu terbentuklah kampong yang kedua yang dibangun oleh mata rumah atau Clan Reawaruw yang terdiri dari sembilan keluarga dari tiga orang Kapitan yaitu Panta, Masahehe dan Spatenu. Mereka datang dari Kelawaru (Seram) dan hanyut dengan sebatang kayu besar, kemudian terdampar di muara sungai pantai Waai. Mereka terharu dan menangis karena gembira sebab telah selamat tiba di pantai dan kemudian sungai itu diberi nama Wai Mata yang artinya Air Mata. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menyusur pantai ke arah Selatan sampai munculnya Fajar di Ufuk Timur. Pantai ini mereka namai Putihesi yang artinya cahaya Putih. Perjalanan terus dilanjutkan dan akhirnya beristirahat di suatu tempat yang disebut Usmusin. Sementara beristirahat mereka bertemu dengan seorang yang dari kampong Eluhu yang turun ke Pantai mencari Bia atau Siput. Orang-orang Eluhu kembali ke kampungnya dan memberitahukan kepada pimpinan Nuhurela. Kemudian orang-orang Kewalaru itu dipanggil dan diberi suatu tempat yang benama Pauresi. Karena tempat ini tidak terlalu aman maka mereka berpindah ke Amusala, kemudian lagi pindah ke tempat yang lebih aman yang diberi nama Eri Nani di sebelah selatan  Eri Eluhu.  Di Eri Nani mereka menetap untuk seterusnya dan Eri ini merupakan kampong kedua di Pegunungan ini.
Beberapa waktu kemudian tibalah sekelompok orang pendatang dari Seram yang dikenal sebagai mata rumah Matakupan dengan menaiki sebuah Gusepa. Mereka naik ke gunung dan bertemu dengan Upu Nuhurela, Nuhurela menyambut mereka dan memberi daerah yang menjadi pemukiman mereka yang bernama Eri Pokingsaung yang kemudian menjadi kampong ketiga. Kemudian muncul lagi pendatang baru yaitu mata rumah Pattimukay, dan tempat pemukiman mereka dinamai Eri Pakingsaung. Ini merupakan Eri yang keempat. Tak lama kemudian muncul juga kelompok mata rumah Tahitu yang mendiami Eri Hunimua yang letaknya kearah Timur laut dari Eri pakingsiang. Kemudian eri yang keenam yang ditunjuk oleh Nuhurela yaitu Eri Amalaing yang dihuni oleh mata rumah Tuanahu yang letaknya agak ke Selatan dari Eri Hunimua. Eri yang terakhir yakni Eri yang ketujuh ialah Eri Amaheru yang didiami mata rumah Tuasela yang letaknya di selatan dari Eri Amalaing. Ketujuh Eri di Gunung Salahutu ini dipimpin oeh seorang raja, yang namanya tak begitu jelas.
Meskipun mereka berkuasa secara otonom di negeri masing-masing namun mereka tunduk pula kepada kuasa seorang Sultan (pimpinan Agama Islam) yang pada waktu itu berkedudukan di Eri Eluhu yakni Nuhurela. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa ketujuh eri tesebut adalah beragama Islam. Dapat dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid di Eri Nani, yang nantinya baru pada abad ke – 17 datanglah orang-orang Kristen melalui usaha para Zendeling.
Ada seorang Pendeta yang bernama Honden Horen dari negeri Rumahtiga bersama kedua pembantunya pada suatu waktu menjalankan tugas mereka di Pegunungan Salahutu. Yang menunjuk jalan ke Salahutu ialah Lodrikus. Sebelum berangkat mereka menyiapkan berbagai perlengkapan dan pembekalan antara lain sebuah bakul besar yang berisi ikan dan air yang dipergunakan sebagai air baptisan. Mendekati Eri nani, sang pendeta dimasukan bersama-sama dengan ikan dan air Baptisan itu. pada waktu mereka tiba di Eri Nani yaitu pada hari Jumat, penduduk sementara bersembahyang. Bakul misterius itu diletakan para pembantu di depan Masjid. Pada saat selesai sembahyang, kerumunan orang mendekatinya karena para pembantu itu berteriak-teriak menjajakan barang jualannnya. Sambil masyarakat mendekatinya, sang pendeta pun keluar dari bakul dan memercikan air ke arah orang banyak itu. yang terkena percikan air tetap tinggal di tempatnya sedangkan yang tidak terpercik melarikan diri berhamburan. Yang lari ke arah timur lalu menyeberang ke Kailolo di pulau Haruku, ke sebelah Barat  menuju negeri Wakal dan Morella dan ke Utara menuju negeri Liang dan yang ke Selatan menuju Tulehu. Yang ke utara bersembunyi di dalam Liang-liang (Gua), di kemudian hari tempat mereka disebut dengan Liang (negeri Liang sekarang). Yang berpindah ke negeri Liang ialah mata rumah Matakupan yang kemudian menjadi Rehalat di Liang, mata rumah Kayadu menjadi Lessy dan Talaperuw menjadi Oper. Yang melarikan diri ke arah selatan berkumpul pada suatu tempat, di bawah pohon-pohon yang atasnya menjadi sarang kelompok burung  Nuri (Toi). Lama kelamaan tempat itu disebut dengan nama Toirehu/Tuirehu dan akhirnya menjadi Tulehu. Mata rumah yang lari ke Toiheru ialah mata rumah Tuanahu yang menjadi Nahumarury, dan mata rumah Salamony yang menjadi Tuasalamony. Yang lari ke barat menuju Morella, Wakal dst dan ke arah timur di negeri Kailolo di pulau Haruku menurunkan mata rumah Marasabessy. Sementara mereka yang kena air baptisan tetap tinggal di ketujuh Eri itu dan menjadi pemeluk agama Kristen.
Setelah menetap beberapa lama di pegunungan itu, ketujuh eri itu dianjurkan oleh Pendeta Honden Hoden untuk turun berdiam di tepi pantai karena kebutuhan hidup akan terpenuhi secara mudah dan lebih baik. mereka kemudian berkumpul di Eri Nani dan bermusyawarah untuk turun ke pantai. Musyawarah menyetujui untuk turun ke pantai. Printisan dan pencarian tempat pemukiman yang baik belum juga ditemukan. Beberapa tempat telah diincar namun letaknya tidak strategis karena dikelilingi sungai-sungai besar yang sewaktu-waktu bisa membanjir dan membahayakan pemukiman penduduk.
Suatu saat seorang yang bernama Moyang Janis (Johanis) mengambil prakarsa mencari tempat pemukiman yang baik itu. ia adalah putra sulung dari sultan Nuhurela dengan nama lengkapnya Janes Tuhalauruw. Diceritakan bahwa Moyang Janis mengambil tombak pusakanya dan sebuah Kelopak Kering Bunga Kelapa diikatkan pada tombak tersebut. Kelopak kering bunga kelapa itu dibakar dan dilemparkan menuju sasarannyadan tertancap di sebuah dataran yang agak berbukit karang. Tombak tersebut dicari dan akhirnya ditemui. Pada waktu dicabut keluarlah air bening menjadi sebuah mata air dan diberi nama Ula Mata (Tanda Mata) dari Upu Ula yaitu Moyang Janis dan tombak pusaka itu diberi nama Tombak Negeri yang artinya Tombak yang mencari tempat untuk mendirikan negeri. Setelah itu mereka kembali ke gunung untuk mengatur penurunan ke pantai. Melalui musyawarah maka raja Eri Nani ditentukan menjadi pemimpin mereka di negeri yang baru nanti dan ia adalah Moyang Barnadus Reawaruw. Negeri yang diperusaha ini diberi nama Waai yang artinya negeri yang diapit oleh sungai-sungai besar yang bersumber dari gunung Salahutu.
Negeri Waai yang nama aslinya Hunimua Risinai Waitutuitu Labuhan Saheut terletak di sebuah pegunungan tinggi yang jauh dari pantai dan letaknya di barat laut. Waai adalah sebuah kampong Kristen yang sejak zaman Portugis, selalu bermusuhan dengan negeri-negeri Islam yang berperang sampai ke Baguala. Sejak tahun 1633 Waai diserang oleh Kimelaha Luhu dari Seram dan juga dengan orang-orang Islam Hitu. Di kemudian hari orang-orang Waai pun pindah dari pegunungan itu dan mendiami pesisir pantai putih yang indah yang diberi nama Putiressi pada dataran dimana mengalir air Pera. Disebut demikian karena air sungai itu berkilauan seperti perak yang terletak di belakang negeri dimana muncul pula air terjun. Pada waktu itu Waai diperintah oleh orang kaya yang bernama Johan Bakarbessy yang merupakan tokoh keduabelas duduk dalam Landraad. Pada tahun 1656 ia dibuang di pulau Rossingyu di Pulau Banda karena membuat kerusuhan di pegunungan dengan penyembahan kepada Butu Ulisiwa merupakan suatu aliran kepercayaan dari perserikatan ulisiwa, dan kemudian ia diganti oleh Manuel Cayado ( Kayadoe ). Waai tidak termasuk persekutuan adat Ulilima melainkan Ulisiwa. Petuanan Waai penuh dengan hutan Sagu namun kurangnya pohon Cengkih karena faktor udara yang sangat dingin dan lembab. Di antara Waai sebelah timur dan Mamala disebelah barat, terdapat gunung-gunung yang sangat tinggi di pulau Ambon yang sukar didaki dan sangat berbahaya.
§  Kerusuhan Waai
Waai juga dijuluki atau dikenal dengan Desa kerusuhan karena, terjadi 19 kali penyerangan yang di mulai sejak bulan Februari 1999 – 1 Agustus 2000. Tetapi para penduduk masih tetap bertahan. Tanggal 30 Juli para warga Waai semuanya keluar dari negeri melewati gunung, dan menuju ke salah satu desa yaitu desa Passo. Dimana, ada salah satu gudang cengkih yang terletak di Rimbah yang dimiliki oleh bapak Jhon, beliau membuka pintu gudang untuk negeri Waai. Waai bukan hanya rusak di desa saja tetapi rusak juga di gunung. Semua tanaman umur panjang juga rusak seperti; cengkih, pala, durian, kelapa.
§  Kolam Waiselaka Tempat Morea
Ada satu tempat yang sekarang menjadi salah satu tempat wisata di Waai yaitu “Air Morea”. Morea di kolam Waiselaka ini mencapai 1,5 meter dengan lebar menyerupai batang pohon kelapa. Biasanya, morea bersembunyi di balik bebatuan kolam. Untuk memancingnya keluar, penduduk menggunakan telur. Uniknya, hanya satu tokoh masyarakat yang bisa memancingnya keluar. Bila dihitung, jumlah keseluruhan morea yang ada di kolam Wiselaka mencapai 100 ekor.
Menurut penjelasan narasumber, ratusan tahun lalu ada tombak sakti yang dilemparkan dari Pegunungan Salahutu. Tombak tersebut menancap di kolam Waiselaka, sejak saat itu morea hidup di sana.
Kolam Waiselaka tidak hanya menyajikan fenomena belut raksasa, tetapi juga lingkungan yang masih asri. Rindangnya pepohonan membuat kawasan ini terasa sejuk. Duduk-duduk santai di pinggir kolam sambil menikmati aktivitas masyarakat sekitar merupakan hal yang sering dilakukan pengunjung. Pada tahun 2005 warga Waai meminta bantuan dari bapak Boy. Mustamu, dimana pada saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku. Akhirnya beliau merealisasikan anggaran untuk memperbaiki semua kerusakan tersebut. Hingga saat ini “Air Morea Waai” masih menjadi salah satu tempat wisata di Maluku. Setiap hari terlihat warga Waai mengambil air bersih di dekat mata air, mandi di kolam di sekitar mata air, dan mencuci pakaian di dekat pintu air yang memisahkan kolam dengan sungai yang membawa air sampai ke laut. Meskipun air Waiselaka telah disalurkan menggunakan pipa ke sejumlah rumah, warga tetap saja memilih mengambil air di sana.
telur - makanan untuk morea
Morea/belut adalah salah satu hewan yang hidup di air, yang bentuknya seperti ular laut. Air Morea Waai sudah ada sejak dulu, umumnya semua kali atau sungai ada belut/morea akan tetapi morea/belut di Waai ini beda dengan morea/belut-belut yang lainnya karena ukurannya juga relatif besar. Penyebabnya adalah karena Waai merupakan negeri adat. Morea di Waai juga merupakan suatu ritual atau kepercayaan negeri Waai dimana kepercayaan mereka akan Datuk-datuk atau tete nenenk moyang. Menurut mereka bukan untuk menyembah, tetapi hanya untuk sekedar menghormati saja.
Cara memanggil morea/belut keluar juga sangat beda yaitu mereka harus meminta kepada Allah Sang pencipta langit dan bumi ini untuk mengeluarkan semua belut yang ada dari dalam batu. Itu merupakan suatu tradisi warga Waai. Dan juga caranya adalah memukul-mukul permukaan air dengan telur ayam yang nantinya telur itu akan dimakan oleh belut/morea tersebut. Yang lebih uniknya lagi adalah ada raja/kepala dari semua belut/morea yang ada. Kata penduduk setempat morea/belut tersebut keluar hanya pada saat ada acara adat seperti, pembersihan kampong, dll. Dan ketika belut itu keluar harus menyiapkan semua makanan adat, sopi, rokok (Padito, dalam bahasa Waai). Itu merupakan sebuah tradisi atau kepercayaan penduduk Waai.


BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penelitian yang kami lakukan, kami dapat menyimpulkan bahwa para datuk dan nenek moyang masyarakat Waai berasal dari Pulau Seram dan Jawa (Tuban). Semula pegunungan Salahutu  belum didiami penduduk sampai kemudian datang pendatang dari Seram. Negeri ini diberi nama Waai yang artinya negeri yang diapit oleh sungai-sungai besar yang bersumber dari gunung Salahutu. Waai juga dijuluki atau dikenal dengan Desa kerusuhan karena, terjadi 19 kali penyerangan yang di mulai sejak bulan Februari 1999 – 1 Agustus 2000. Tetapi para penduduk masih tetap bertahan. Tanggal 30 Juli para warga Waai semuanya keluar dari negeri melewati gunung, dan menuju ke salah satu desa yaitu desa Passo. Morea/belut adalah salah satu hewan yang hidup di air, yang bentuknya seperti ular laut. Morea di Waai merupakan suatu ritual atau kepercayaan negeri Waai dimana kepercayaan mereka akan Datuk-datuk atau tete nenek moyang. Menurut mereka bukan untuk menyembah, tetapi hanya untuk sekedar menghormati saja. Cara memanggil morea/belut keluar juga sangat beda yaitu mereka harus meminta kepada Allah Sang pencipta langit dan bumi ini untuk mengeluarkan semua belut yang ada dari dalam batu. Itu merupakan suatu tradisi warga Waai. Dan juga caranya adalah memukul-mukul permukaan air dengan telur ayam yang nantinya telur itu akan dimakan oleh belut/morea tersebut. Yang lebih uniknya lagi adalah ada raja/kepala dari semua belut/morea yang ada. Kata penduduk setempat morea/belut tersebut keluar hanya pada saat ada acara adat seperti, pembersihan kampong, dll. Dan ketika belut itu keluar harus menyiapkan semua makanan adat, sopi, rokok (Padito, dalam bahasa Waai). Itu merupakan sebuah tradisi atau kepercayaan penduduk Waai.
B.     Saran
Saran kami, jika pembaca ingin melakukan penelitian seperti kami, sebaiknya memilih tempat yang dekat atau masih berada di pusat kota. Karena kami mengalami sedikit hambatan dalam menempuh perjalanan dan akibatnya kami mencari solusi lain dalam mencapai lokasi penelitian.


DAFTAR PUSTAKA
Informasi langsung dari narasumber Bpk. Bai Bakarbessy ( pawang morea )

penelitian ini dilakukan oleh siswa-siswi SMA Negeri 1 Ambon untuk memenuhi persyaratan tugas bahasa indonesia
1.      Anastasya Sipasulta
 2.      Brian Pattiasina
 3.      Jordy Nanuru
 4.      Junito Manuhuttu
 5.      Marlisa Yesaya 
6.      Theresia Bora 
 7.      Vita Mariwy

Komentar

Postingan Populer