hasil penelitian tentang morea waai
morea waai |
kolam khusus berisi morea/belut dan ikan |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan suatu negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil
yang jumlahnya mencapai ribuan buah. Keistimewaan inilah yang menjadikan bangsa
Indonesia sebagai suatu negara yang unik di mata dunia. Maluku termasuk dalam
gugusan pulau-pulau yang sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan,
yang pada umumnya berkonsentrasi di pulau-pulau besar maupun kecil.
Desa merupakan
basis kehidupan masyarakat Indonesia, karena itu harus dibina dan dikembangkan.
Apabila kita memperhatikan masyarakat pedesaan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
akan tergambar jelas pola kemasyarakatan dan adat istiadat yang beanekaragam
sebagai warisan di masa lampau yang sulit dilupakan.
Jauh sebelum Indonesia
berdiri menjadi negara kesatuan, negeri-negeri di pulau Ambon sudah ada dan
terbentuk, salah satunya Desa Waai dan punya struktur pemerintahan sendiri yang
di pimpin oleh seorang raja. Hal ini sangat penting diketahui agar kita dapat
lebih mengenal dan mengetahui kehidupan masyarakat serta struktur pemerintahan,
yang ada pada masa lampau. Hal ini menunjukan bahwa leluhur kita telah mengenal
suatu sistem pemerintahan yang teratur dengan tujuan untuk menjaga stabilitas
dalam kehidupan masyarakat.
Proses
terbentuknya negeri khususnya di Maluku yang di kenal dengan sebutan negeri
atau hena, merupakan suatu proses dimana orang-orangnya atau komunitasnya mulai
bermusyawarah dan menentukan keinginan mereka untuk membangun sesuai keinginan
dari para pemukanya.
Dari
cerita-cerita tradisional yang berkembang di masyarakat maluku terutama
menyangkut sejarah pertumbuhan desa-desa sangatlah menarik. Salah satu hal yang
membuat cerita-cerita tersebut menarik adalah jauh sebelum Indonesia ini terbentuk,
negeri di Maluku sudah terbentuk.
‘’Pada mulanya
sekelompok orang/masyarakat sosial bertempat tinggal di gunung atau bukit-bukit
pada tempat-tempat aman dan strategis, dan setelah penduduk bertambah
terbentuklah perkampungan-perkampungan dan yang terdiri dari beberapa mata
rumah‘’. Berkaitan dengan penjelasan di atas maka ada salah satu Negeri di
pulau Ambon, di anggap mempunyai cerita sejarah yang menarik untuk di teliti
dan di tulis untuk menjadi bahan bagi generasi muda di daerah ini. Dan dari
berbagai pemikiran itulah maka penulis mencoba untuk menanyakan berbagai fakta
sejarah terutama berbgai cerita sejarah tulisan tentang desa Waai di pulau
Ambon Kecamatan Salahutu.
Bertolak dari
latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang dapat
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana sejarah kelahiran
dan perkembangan desa Waai dan Bagaimana asal usul munculnya morea di Waai ?
C.
Tujuan
Yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Mendeskripsikan sejarah
kelahiran dan perkembangan desa Waai dan asal usul munculnya morea di Waai.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Sejarah
Dalam upaya
untuk menyelesaikan permasalahan pokok, sebagaimana telah dikemukakan awal bab
ini, maka penulis secara teori maupun konsep para pakar yang dianggap relevan
dengan masalah pokok penelitian ini.
Sangat penting
proses pengumpulan data sejarah, dimana tujuannya adalah menghasilkan kisah
sejarah yang nantinya dipelajari sebagai realitas masa lalu yang mengalami
proses perubahan pada masa sekarang kemudian pada masa yang akan datang.
Dari pengertian di
atas, Roeslan Abdulgani (1963 : 174) mengatakan bahwa : sejarah ialah salah
satu cabang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan
perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau, beserta segala
kejadian-kejadiannya, dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis
seluruh hasil penelitian dan penyelidikan itu, untuk akhirnya dijadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian
dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses maasa depan.
Sejarah dalam
pengertian itu mengandung 3 dimensi waktu yaitu : masa lampau(past),
sekarang(present) dan yang akan datang(future).
B.
Pengertian
Negeri
Negeri di Maluku pada umumnya memiliki adat serta kebudayaan yang
merupakan hasil karya dan cipta dari nenek moyang untuk dijadikan sebagai
aturan dan norma yang terus dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah
desa diambil dari bahasa jawa yang menunjukkan pada suatu hukum adat jawa,
sedangkan istilah negeri berasal dari bahasa melayu yaitu negeri dan
menunjukkan kepada suatu masyarakat. Tiap daerah mempunyai adat-istiadatnya
masing-masing, mengatur dan mengurus hidup bersama.
Adanya berbagai istilah untuk kelompok tinggal bersama itu
menunjukkan bahwa apa yang disebut desa sekarang ini telah ada di Indonesia
jauh sebelum orang Eropa atau bangsa lainnya datang. Betapa sederhananya desa
pada saat itu. Desa tidaklah berasal dari luar Indonesia, tetapi asli dan murni
Indonesia.
Negeri juga merupakan pusat berbagai aktivitas baik dalam bidang
ekonomi, sosial dan juga kebudayaan pada umumnya. Kesatuan hidup ini berada di
bawah pimpinan suatu lembaga yang biasa diistilahkan dengan Badan Saniri. Kedua
badan saniri adalah Raja/Kepala Negeri, dan orang yang berhak diangkat sebagai
Raja adalah mereka yang berketurunan Raja.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian
pawang morea |
B.
Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah “ Deskriptif Kualitatif “
yaitu penelitian yang menggunakan latar
alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena terjadi dengan melibatkan berbagai
metode yang ada (Denzin dan Lincoln dalam Moleang 2008 : 5). Penelitian tersebut dilakukan dengan metode
wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Wawancara itu bersifat tidak terstruktur
dengan menggunakan pedoman wawancara yang berkembang sesuai kebutuhan di
lapangan. Pengamatan yang dilakukan bersifat non-partisipatif. Dokumentasi
didapatkan dari literatur tertulis dan internet.
BAB
IV
PEMBAHASAN
§ Sejarah
Negeri Waai
Semula ada tujuh buah kampong atau Eri yang kemudian bersepakat
untuk mencari suatu negeri yang saat ini dikenal dengan nama Waai. Pada mulanya
pegunungan Salahutu tak berpenduduk. Seorang laki-laki tiba di gunung ini yang
bernama Paumete yang berasal dari Nunusaku dengan berjalan kaki naik ke gunung,
konon Pulau Seram dan Pulau Ambon menyatu. Paumete kembali ke Seram menjemput
saudara perempuannya yang bernama Isamete dan kembali bersama ke Salahutu. Ia
pun mengawini adiknya itu lalu kedua orang tua mereka pun mengetahuinya dan
menjadi marah dan akhirnya menyumpahi kedua anak itu. Akibat sumpahan itu maka
pulau Seram dan pulau Ambon menjadi terputus. Kedua kakak beradik itu adalah
penduduk pertama di pegunungan Salahutu ini. Setelah mereka beranak cucu,
mereka membangun sebuah pemukiman yang diberi nama Simalopu (Panah dan Tembok),
keturunan mereka pun menjadi banyak dan mereka pindah ke suatu tempat yang bernama
Tua Pela (Tuhan Ela). Kemudian salah satu keluarganya berpisah dari keluarga
besar Tuangela dan bermukim di tempat yang bernama Eri Eluhu yang dipimpin
Nuhurela. Eluhu merupakan suatu negeri yang pertama di gunung karena telah
dibangun dengan baik, sedangkan penduduk Tuangela kemudian lenyap entah kemana.
Setelah itu terbentuklah kampong yang kedua yang dibangun oleh mata
rumah atau Clan Reawaruw yang terdiri dari sembilan keluarga dari tiga orang
Kapitan yaitu Panta, Masahehe dan Spatenu. Mereka datang dari Kelawaru (Seram)
dan hanyut dengan sebatang kayu besar, kemudian terdampar di muara sungai
pantai Waai. Mereka terharu dan menangis karena gembira sebab telah selamat
tiba di pantai dan kemudian sungai itu diberi nama Wai Mata yang artinya Air
Mata. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menyusur pantai ke arah Selatan
sampai munculnya Fajar di Ufuk Timur. Pantai ini mereka namai Putihesi yang artinya
cahaya Putih. Perjalanan terus dilanjutkan dan akhirnya beristirahat di suatu
tempat yang disebut Usmusin. Sementara beristirahat mereka bertemu dengan
seorang yang dari kampong Eluhu yang turun ke Pantai mencari Bia atau Siput.
Orang-orang Eluhu kembali ke kampungnya dan memberitahukan kepada pimpinan
Nuhurela. Kemudian orang-orang Kewalaru itu dipanggil dan diberi suatu tempat
yang benama Pauresi. Karena tempat ini tidak terlalu aman maka mereka berpindah
ke Amusala, kemudian lagi pindah ke tempat yang lebih aman yang diberi nama Eri
Nani di sebelah selatan Eri Eluhu. Di Eri Nani mereka menetap untuk
seterusnya dan Eri ini merupakan kampong kedua di Pegunungan ini.
Beberapa waktu kemudian tibalah sekelompok orang pendatang dari
Seram yang dikenal sebagai mata rumah Matakupan dengan menaiki sebuah Gusepa.
Mereka naik ke gunung dan bertemu dengan Upu Nuhurela, Nuhurela menyambut
mereka dan memberi daerah yang menjadi pemukiman mereka yang bernama Eri
Pokingsaung yang kemudian menjadi kampong ketiga. Kemudian muncul lagi
pendatang baru yaitu mata rumah Pattimukay, dan tempat pemukiman mereka dinamai
Eri Pakingsaung. Ini merupakan Eri yang keempat. Tak lama kemudian muncul juga
kelompok mata rumah Tahitu yang mendiami Eri Hunimua yang letaknya kearah Timur
laut dari Eri pakingsiang. Kemudian eri yang keenam yang ditunjuk oleh Nuhurela
yaitu Eri Amalaing yang dihuni oleh mata rumah Tuanahu yang letaknya agak ke
Selatan dari Eri Hunimua. Eri yang terakhir yakni Eri yang ketujuh ialah Eri
Amaheru yang didiami mata rumah Tuasela yang letaknya di selatan dari Eri
Amalaing. Ketujuh Eri di Gunung Salahutu ini dipimpin oeh seorang raja, yang
namanya tak begitu jelas.
Meskipun mereka berkuasa secara otonom di negeri masing-masing
namun mereka tunduk pula kepada kuasa seorang Sultan (pimpinan Agama Islam)
yang pada waktu itu berkedudukan di Eri Eluhu yakni Nuhurela. Dengan demikian
dapat disebutkan bahwa ketujuh eri tesebut adalah beragama Islam. Dapat
dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid di Eri Nani, yang nantinya baru pada
abad ke – 17 datanglah orang-orang Kristen melalui usaha para Zendeling.
Ada seorang Pendeta yang bernama Honden Horen dari negeri Rumahtiga
bersama kedua pembantunya pada suatu waktu menjalankan tugas mereka di
Pegunungan Salahutu. Yang menunjuk jalan ke Salahutu ialah Lodrikus. Sebelum
berangkat mereka menyiapkan berbagai perlengkapan dan pembekalan antara lain
sebuah bakul besar yang berisi ikan dan air yang dipergunakan sebagai air
baptisan. Mendekati Eri nani, sang pendeta dimasukan bersama-sama dengan ikan
dan air Baptisan itu. pada waktu mereka tiba di Eri Nani yaitu pada hari Jumat,
penduduk sementara bersembahyang. Bakul misterius itu diletakan para pembantu
di depan Masjid. Pada saat selesai sembahyang, kerumunan orang mendekatinya
karena para pembantu itu berteriak-teriak menjajakan barang jualannnya. Sambil
masyarakat mendekatinya, sang pendeta pun keluar dari bakul dan memercikan air
ke arah orang banyak itu. yang terkena percikan air tetap tinggal di tempatnya
sedangkan yang tidak terpercik melarikan diri berhamburan. Yang lari ke arah
timur lalu menyeberang ke Kailolo di pulau Haruku, ke sebelah Barat
menuju negeri Wakal dan Morella dan ke Utara menuju negeri Liang dan yang ke
Selatan menuju Tulehu. Yang ke utara bersembunyi di dalam Liang-liang (Gua), di
kemudian hari tempat mereka disebut dengan Liang (negeri Liang sekarang). Yang
berpindah ke negeri Liang ialah mata rumah Matakupan yang kemudian menjadi
Rehalat di Liang, mata rumah Kayadu menjadi Lessy dan Talaperuw menjadi Oper.
Yang melarikan diri ke arah selatan berkumpul pada suatu tempat, di bawah
pohon-pohon yang atasnya menjadi sarang kelompok burung Nuri (Toi). Lama
kelamaan tempat itu disebut dengan nama Toirehu/Tuirehu dan akhirnya menjadi
Tulehu. Mata rumah yang lari ke Toiheru ialah mata rumah Tuanahu yang menjadi
Nahumarury, dan mata rumah Salamony yang menjadi Tuasalamony. Yang lari ke
barat menuju Morella, Wakal dst dan ke arah timur di negeri Kailolo di pulau
Haruku menurunkan mata rumah Marasabessy. Sementara mereka yang kena air
baptisan tetap tinggal di ketujuh Eri itu dan menjadi pemeluk agama Kristen.
Setelah menetap beberapa lama di pegunungan itu, ketujuh eri itu
dianjurkan oleh Pendeta Honden Hoden untuk turun berdiam di tepi pantai karena
kebutuhan hidup akan terpenuhi secara mudah dan lebih baik. mereka kemudian
berkumpul di Eri Nani dan bermusyawarah untuk turun ke pantai. Musyawarah
menyetujui untuk turun ke pantai. Printisan dan pencarian tempat pemukiman yang
baik belum juga ditemukan. Beberapa tempat telah diincar namun letaknya tidak
strategis karena dikelilingi sungai-sungai besar yang sewaktu-waktu bisa
membanjir dan membahayakan pemukiman penduduk.
Suatu saat seorang yang bernama Moyang Janis (Johanis) mengambil
prakarsa mencari tempat pemukiman yang baik itu. ia adalah putra sulung dari
sultan Nuhurela dengan nama lengkapnya Janes Tuhalauruw. Diceritakan bahwa
Moyang Janis mengambil tombak pusakanya dan sebuah Kelopak Kering Bunga Kelapa
diikatkan pada tombak tersebut. Kelopak kering bunga kelapa itu dibakar dan
dilemparkan menuju sasarannyadan tertancap di sebuah dataran yang agak berbukit
karang. Tombak tersebut dicari dan akhirnya ditemui. Pada waktu dicabut
keluarlah air bening menjadi sebuah mata air dan diberi nama Ula Mata (Tanda
Mata) dari Upu Ula yaitu Moyang Janis dan tombak pusaka itu diberi nama Tombak
Negeri yang artinya Tombak yang mencari tempat untuk mendirikan negeri. Setelah
itu mereka kembali ke gunung untuk mengatur penurunan ke pantai. Melalui
musyawarah maka raja Eri Nani ditentukan menjadi pemimpin mereka di negeri yang
baru nanti dan ia adalah Moyang Barnadus Reawaruw. Negeri yang diperusaha ini
diberi nama Waai yang artinya negeri yang diapit oleh sungai-sungai besar yang
bersumber dari gunung Salahutu.
Negeri Waai yang nama aslinya Hunimua Risinai Waitutuitu Labuhan
Saheut terletak di sebuah pegunungan tinggi yang jauh dari pantai dan letaknya
di barat laut. Waai adalah sebuah kampong Kristen yang sejak zaman Portugis,
selalu bermusuhan dengan negeri-negeri Islam yang berperang sampai ke Baguala.
Sejak tahun 1633 Waai diserang oleh Kimelaha Luhu dari Seram dan juga dengan
orang-orang Islam Hitu. Di kemudian hari orang-orang Waai pun pindah dari
pegunungan itu dan mendiami pesisir pantai putih yang indah yang diberi nama
Putiressi pada dataran dimana mengalir air Pera. Disebut demikian karena air
sungai itu berkilauan seperti perak yang terletak di belakang negeri dimana
muncul pula air terjun. Pada waktu itu Waai diperintah oleh orang kaya yang
bernama Johan Bakarbessy yang merupakan tokoh keduabelas duduk dalam Landraad.
Pada tahun 1656 ia dibuang di pulau Rossingyu di Pulau Banda karena membuat
kerusuhan di pegunungan dengan penyembahan kepada Butu Ulisiwa merupakan suatu
aliran kepercayaan dari perserikatan ulisiwa, dan kemudian ia diganti oleh
Manuel Cayado ( Kayadoe ). Waai tidak termasuk persekutuan adat Ulilima
melainkan Ulisiwa. Petuanan Waai penuh dengan hutan Sagu namun kurangnya pohon
Cengkih karena faktor udara yang sangat dingin dan lembab. Di antara Waai
sebelah timur dan Mamala disebelah barat, terdapat gunung-gunung yang sangat
tinggi di pulau Ambon yang sukar didaki dan sangat berbahaya.
§ Kerusuhan
Waai
Waai juga dijuluki atau dikenal
dengan Desa kerusuhan karena, terjadi 19 kali penyerangan yang di mulai sejak
bulan Februari 1999 – 1 Agustus 2000. Tetapi para penduduk masih tetap
bertahan. Tanggal 30 Juli para warga Waai semuanya keluar dari negeri melewati
gunung, dan menuju ke salah satu desa yaitu desa Passo. Dimana, ada salah satu
gudang cengkih yang terletak di Rimbah yang dimiliki oleh bapak Jhon, beliau
membuka pintu gudang untuk negeri Waai. Waai bukan hanya rusak di desa saja
tetapi rusak juga di gunung. Semua tanaman umur panjang juga rusak seperti;
cengkih, pala, durian, kelapa.
§ Kolam
Waiselaka Tempat Morea
Ada satu tempat yang sekarang menjadi salah satu tempat wisata di Waai yaitu “Air Morea”. Morea di kolam Waiselaka ini mencapai 1,5 meter dengan lebar menyerupai batang pohon kelapa. Biasanya, morea bersembunyi di balik bebatuan kolam. Untuk memancingnya keluar, penduduk menggunakan telur. Uniknya, hanya satu tokoh masyarakat yang bisa memancingnya keluar. Bila dihitung, jumlah keseluruhan morea yang ada di kolam Wiselaka mencapai 100 ekor.
Ada satu tempat yang sekarang menjadi salah satu tempat wisata di Waai yaitu “Air Morea”. Morea di kolam Waiselaka ini mencapai 1,5 meter dengan lebar menyerupai batang pohon kelapa. Biasanya, morea bersembunyi di balik bebatuan kolam. Untuk memancingnya keluar, penduduk menggunakan telur. Uniknya, hanya satu tokoh masyarakat yang bisa memancingnya keluar. Bila dihitung, jumlah keseluruhan morea yang ada di kolam Wiselaka mencapai 100 ekor.
Menurut penjelasan narasumber, ratusan tahun lalu ada tombak sakti
yang dilemparkan dari Pegunungan Salahutu. Tombak tersebut menancap di kolam
Waiselaka, sejak saat itu morea hidup di sana.
Kolam Waiselaka tidak hanya menyajikan fenomena belut raksasa,
tetapi juga lingkungan yang masih asri. Rindangnya pepohonan membuat kawasan
ini terasa sejuk. Duduk-duduk santai di pinggir kolam sambil menikmati
aktivitas masyarakat sekitar merupakan hal yang sering dilakukan pengunjung.
Pada tahun 2005 warga Waai meminta bantuan dari bapak Boy. Mustamu, dimana pada
saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku.
Akhirnya beliau merealisasikan anggaran untuk memperbaiki semua kerusakan
tersebut. Hingga saat ini “Air Morea Waai” masih menjadi salah satu tempat
wisata di Maluku. Setiap hari terlihat warga Waai mengambil air bersih di dekat
mata air, mandi di kolam di sekitar mata air, dan mencuci pakaian di dekat
pintu air yang memisahkan kolam dengan sungai yang membawa air sampai ke laut.
Meskipun air Waiselaka telah disalurkan menggunakan pipa ke sejumlah rumah,
warga tetap saja memilih mengambil air di sana.
telur - makanan untuk morea |
Cara
memanggil morea/belut keluar juga sangat beda yaitu mereka harus meminta kepada
Allah Sang pencipta langit dan bumi ini untuk mengeluarkan semua belut yang ada
dari dalam batu. Itu merupakan suatu tradisi warga Waai. Dan juga caranya
adalah memukul-mukul permukaan air dengan telur ayam yang nantinya telur itu
akan dimakan oleh belut/morea tersebut. Yang lebih uniknya lagi adalah ada
raja/kepala dari semua belut/morea yang ada. Kata penduduk setempat morea/belut
tersebut keluar hanya pada saat ada acara adat seperti, pembersihan kampong,
dll. Dan ketika belut itu keluar harus menyiapkan semua makanan adat, sopi,
rokok (Padito, dalam bahasa Waai). Itu merupakan sebuah tradisi atau
kepercayaan penduduk Waai.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penelitian yang kami lakukan,
kami dapat menyimpulkan bahwa para
datuk dan nenek moyang masyarakat Waai berasal dari Pulau Seram dan Jawa (Tuban).
Semula pegunungan Salahutu belum didiami penduduk sampai kemudian datang
pendatang dari Seram. Negeri ini diberi nama Waai yang artinya negeri yang
diapit oleh sungai-sungai besar yang bersumber dari gunung Salahutu. Waai
juga dijuluki atau dikenal dengan Desa kerusuhan karena, terjadi 19 kali
penyerangan yang di mulai sejak bulan Februari 1999 – 1 Agustus 2000. Tetapi
para penduduk masih tetap bertahan. Tanggal 30 Juli para warga Waai semuanya
keluar dari negeri melewati gunung, dan menuju ke salah satu desa yaitu desa Passo.
Morea/belut adalah salah satu hewan yang hidup di air, yang
bentuknya seperti ular laut. Morea di Waai merupakan suatu ritual atau
kepercayaan negeri Waai dimana kepercayaan mereka akan Datuk-datuk atau tete
nenek moyang. Menurut mereka bukan untuk menyembah, tetapi hanya untuk sekedar
menghormati saja. Cara memanggil morea/belut keluar
juga sangat beda yaitu mereka harus meminta kepada Allah Sang pencipta langit
dan bumi ini untuk mengeluarkan semua belut yang ada dari dalam batu. Itu
merupakan suatu tradisi warga Waai. Dan juga caranya adalah memukul-mukul
permukaan air dengan telur ayam yang nantinya telur itu akan dimakan oleh
belut/morea tersebut. Yang lebih uniknya lagi adalah ada raja/kepala dari semua
belut/morea yang ada. Kata penduduk setempat morea/belut tersebut keluar hanya
pada saat ada acara adat seperti, pembersihan kampong, dll. Dan ketika belut
itu keluar harus menyiapkan semua makanan adat, sopi, rokok (Padito, dalam
bahasa Waai). Itu merupakan sebuah tradisi atau kepercayaan penduduk Waai.
B.
Saran
Saran kami, jika pembaca ingin melakukan penelitian seperti kami,
sebaiknya memilih tempat yang dekat atau masih berada di pusat kota. Karena
kami mengalami sedikit hambatan dalam menempuh perjalanan dan akibatnya kami
mencari solusi lain dalam mencapai lokasi penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Informasi langsung dari narasumber Bpk. Bai
Bakarbessy ( pawang morea )
penelitian ini dilakukan oleh siswa-siswi SMA Negeri 1 Ambon untuk memenuhi persyaratan tugas bahasa indonesia
1. Anastasya Sipasulta
2. Brian Pattiasina
3. Jordy Nanuru
4. Junito Manuhuttu
5. Marlisa Yesaya
6. Theresia Bora
7. Vita Mariwy
penelitian ini dilakukan oleh siswa-siswi SMA Negeri 1 Ambon untuk memenuhi persyaratan tugas bahasa indonesia
1. Anastasya Sipasulta
2. Brian Pattiasina
3. Jordy Nanuru
4. Junito Manuhuttu
5. Marlisa Yesaya
6. Theresia Bora
7. Vita Mariwy
Komentar