cerita rakyat ` nene luhu
Cerita Rakyat Maluku
Nenek Luhu
Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang
bernama Luhu. Negeri itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah
negeri yang kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang jumlah warganya tidak
terlalu banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih
dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama Puar
Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina Luhu
berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Puteri Luhu. Ia
adalah anak sulung sang raja yang memiliki perangai yang baik, yaitu penurut,
berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh
keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra, yaitu
Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di
Pulau Seram terdengar oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon.
Mendengar kabar tersebut, Belanda berniat untuk menguasai pulau itu. Dengan
persenjataan lengkap, Belanda menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu dan pasukannya
berusaha untuk mengadakan perlawanan sehingga peperangan pun tak terelakkan.
Perang itu dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya
Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda berhasil menguasai
Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas.
Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu.
Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk dijadikan istri
panglima perang Belanda.
Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu
menolak untuk dijadikan istri oleh panglima perang Belanda. Akibatnya, ia pun
diperkosa oleh sang panglima. Putri cantik yang malang itu tidak dapat berbuat
apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh
oleh panglima itu, Ta Ina Luhu selalu berpikir keras untuk mencari cara agar
keluar dapat dari Kota Ambon.
Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara
Belanda sehingga ia dapat melarikan diri dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke
sebuah Negeri yang bernama Soya. Di negeri itu, ia disambut baik oleh Raja
Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia diberi
kamar tidur yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat
terharu karena teringat ketika ia dulu menjadi putri di negerinya. Tak terasa,
air matanya menetes membasahi kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan
adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya. Ta Ina Luhu sangat merindukan
keluarganya tersebut.
“Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat
merindukan kalian. Beta hanya bisa berdoa semoga kalian hidup tenang di alam
sana!”
Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya,
Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat
tinggal di istana karena tentu akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana.
“O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia
ini. Tapi, kehadiran beta di tempat ini hanya akan merepotkan keluarga Raja
Soya. Beta harus pergi dari istana ini. Berilah beta petunjuk-Mu, Tuhan!” pinta
Ta Ina Luhu.
Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah
sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap berjalan menuju ke pintu belakang istana
sambil mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia benar-benar ingin pergi
dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya
kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya.
Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang
ditambatkan di bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa
dipakai ketika akan menghadap Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu
naik di atas punggung kuda itu. Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri
berbisik dalam hati.
“Maafkan beta, Baginda! Maafkan beta, wahai seluruh
keluarga istana! Kalian sungguh baik hati kepada beta. Tapi, beta terpaksa
harus pergi karena beta tidak ingin merepotkan kalian. Relakanlah beta pergi
dan kalian jangan mencari beta lagi!”
Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu
segera pergi sebelum ada warga istana yang melihatnya. Ia menyusuri hutan
belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun suasana malam terasa sangat dingin,
Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju ke puncak
gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat
pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Pemandangan itu sejenak
mengobati luka-lara sang putri.
“Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona,” ucap Ta
Ina Luhu dengan kagum.
Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh
dari kudanya hingga tak sadarkan diri. Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi
menahan rasa lelah yang begitu berat setelah menempuh perjalanan jauh. Tak
berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping
kudanya. Dalam keadaan setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah
pohon jambu yang rindang dan berbuah lebat.
Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu,
sang putri segera membaringkan tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung
tertidur pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya ketika matahari mulai
beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong. Dengan kondisi
tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang sudah matang.
Setelah memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur
pulih.
Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik
ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada di kamarnya. Seluruh keluarga istana
telah mencarinya ke seluruh ruangan istana namun belum juga menemukannya. Para
pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak
menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang
menghadap kepada Raja Soya.
“Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu,”
lapor pengawal itu.
“Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu?
Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya dengan penasaran.
“Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan
bahwa kuda milik Baginda yang ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi,
hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda,” jelas
pengawal itu.
Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia
sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa
berpikir panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat
kali untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian kembali
memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat raja). Tak
berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebuat datang menghadap
kepadanya.
“Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil kami?”
tanya kedua pejabat itu serentak.
“Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam
belas tahun hingga empat puluh tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk
pergi mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat!”
titah Raja Soya.
“Titah Baginda kami laksanakan,” jawab keduanya seraya
memberi hormat.
Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi
ke dalam beberapa kelompok. Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan
mengikuti jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak
gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang
memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para
pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera
meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian
rombongan pengawal Raja Soya tiba di tempat itu. Akhirnya, mereka tidak
berhasil menemukan sang putri kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang
putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan tempat itu “Gunung Nona”.
Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng
gunung itu menuju ke pantai Amahusu. Karena begitu kencangnya, topi yang
dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika ia ingin berhenti
hendak mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu
kemudian diberi nama “Batu Capeu”.
Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga
akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang putri tampak begitu lemah karena lapar
dan haus. Demikian pula dengan kuda tunggangannya. Setelah beberapa jauh
berjalan mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta Ina dan
Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata
air itu dinamakan “Air Putih”.
Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina
Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung Nona dengan melalui jalan yang
berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal Raja Soya. Namun, ketika hendak
beranjak dari tempat itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang
memanggilnya.
“Putri…, Putri…, Putri Ta Ina Luhu…! Kembalilah…
Baginda Raja Soya sedang menunggumu!”
Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak
melarikan diri. Namun, begitu ia akan memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja
Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu segera turun
dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak
membawanya pulang ke istana Soya.
“Oh, Tuhan! Tolonglah beta ini! Beta tidak mau kembali
ke istana Soya. Beta tidak mau merepotkan orang lain. Biarkanlah beta hidup
sendirian!” pinta Ta Ina Luhu.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya,
tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib. Rombongan pengawal tersebut pun
tersentak kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.
Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu
oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan turun bersamaan dengan cuaca panas,
seringkali ada warga terutama anak-anak yang hilang. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak tersebut
adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil
dengan sebutan Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang
tahu mengapa Nenek Luhu suka mengganggu orang, terutama anak-anak.
Demikian cerita legenda Nenek Luhu dari daerah Ambon,
Maluku. Legenda di atas mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas, yaitu nilai pantang menyerah dan nilai
kemandirian. Kedua nilai tersebut terlihat pada sikap dan prilaku Ta Ina Luhu.
Nilai pantang menyerah terlihat ketika ia tidak pernah berputus asa dalam
berusaha mencari cara untuk bisa lolos dari sergapan penjajah belanda karena
tidak tahan lagi terus diperlakukan tidak senonoh. Sementara itu, nilai
kemandirian Ta Ina Luhu terlihat ketika ia tidak ingin merepotkan orang lain.
Itulah sebabnya, ia pergi dari istana Soya tanpa memberi tahu Raja Soya.
Selain itu, cerita di atas juga mengandung nilai
kesehatan. Terlepas dari benar atau salah, keyakinan tentang Nenek Luhu yang
sering muncul pada saat hujan bersamaan dengan cuaca panas merupakan mitos yang
digunakan oleh masyarakat setempat untuk menakut-nakuti anak-anak mereka agar
tidak keluar rumah karena keadaan cuaca demikian dapat mendatangkan penyakit
seperti pilek, batuk, dan demam.
Komentar